Tak Ada Kata Mundur Ketika Lari Bersama Penyintas
Setelah terdengar kabar kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Gofar Hilman, terdapat kabar lain dengan kasus yang sama secara bertubi-tubi seperti yang digelar di utas degan nama akun twitter ZahariZahari13.
Yang membuat saya geram dari kasus-kasus ini adalah respon dari masyarakat. Ketika kasus dalam posisi terhimpit seperti itu, masyarakat justru merasa sangsi akan keterangan yang dilontarkan oleh para penyintas. Hal ini nampak jelas dari kasus Gofar Hilman, kata-kata yang ia lontarkan berhasil menggiring opini publik untuk melisankan bahwa penyintas dapat mengarang cerita dan memposisikan diri menjadi paling menderita, padahal pihak laki-laki tidak melakukan apa-apa dengan maksud tujuan tertentu seperti mencari atensi publik dan sebagainya.
Berjuang di ranah ini membuat saya dongkol berkali-kali. Ada rasa ingin tumbang sebab nampaknya perjuangan yang saya lakukan tidak menghasilkan buah, namun setelah merenung dengan melihat kilas balik mengapa saya ada di pertempuran ini membuat saya lagi-lagi ditarik untuk pasang badan, berdiri, dan memperkuat penyintas apapun kondisinya. Saya tidak akan memillih untuk hanya membela penyintas yang memiliki kesaksian super solid, konsisten dan tepat dalam mengambil setiap keputusan, juga memiliki persona yang disukai oleh netizen.
Banyak teman saya yang melontarkan pertanyaan mengapa saya memilih berada dikondisi genting karena saya memutuskan untuk berdiri di sisi penyintas, apa pun kondisi mereka. Jawabannya sesederhana karena saya sangat membenci adanya ketimpangan relasi kuasa yang menyebabkan lahirnya suatu ketidakadilan. Seperti yang saya tulis ditulisan sebelumnya entitas yang paling menderita adalah penyintas, siapapun mereka, seperti apa pun orangnya, mereka selalu ada di posisi yang lemah. Di kasus ini penyintas masuk dalam lubang relasi kuasa yang tidak adil, utamanya karena mereka bukanlah seorang laki laki heteroseksual nan maskulin.
Jika ditilik dari maknanya, penyintas memiliki artinya seseorang yang telah mengalami kekerasan, karena itu dapat dipastikan bahwa kapasitas mental juga fisik mereka sudah dilemahkan oleh kejahatannya tersebut.
Cukup dengan karena pihak tertuduh merupakan seorang lelaki heteroseksual nan maskulin, tanpa perlu ditambahi privilese lainnya seperti kaya, punya koneksi, dan memiliki jabatan tinggi pun sudah cukup untuk memenangkan pernyataan perspektif si tertuduh di hadapan masyarakat yang masih patriarki karena pernyataan yang dilontarkan oleh mereka dengan mudah diterima sebagai fakta, tanpa harus mengalami ujian verifikasi bertubi-tubi.
Sebagai mahasiswa hukum tentunya kami dituntut untuk mengedepankan disiplin verifikasi, namun tidak semua kasus mengenai kekerasan seksual dapat diverfikasi secara adil jika pada proses verifikasi dipimpin dan didominasi oleh perangkat hukum yang cenderung maskulin. Maka saya akan berdiri di sisi penyintas sampai dia bisa dibuktikan oleh proses verifikasi yang tidak maskulin dan berperspektif korban.
Kami sebagai mahasiswa hukum juga dilatih untuk menerapkan compassion, sehingga putusan bisa adil. Namun menurut saya jika menjalankan tugas ini tanpa rasa empati, juga kasih, hukum hanya akan jadi corong penguasa. “Compassion” saya tentunya kepada yang posisinya lebih lemah, dengan demikian, kepada penyintas, sekali lagi apapun kondisinya.
Dan tulisan ini merupakan usaha saya untuk mengulurkan tangan pada kita semua yang ada digaris tempur yang sama. Jalan yang akan kita tempuh masih panjang, makadari itu kita perlu untuk saling menguatkan. Saya ingin memegang tangan kalian semua, dan saya pun butuh tangan saya dipegang oleh kalian. Percayalah, saya senang saya bisa berjalan bersama kalian dalam menghapuskan kekerasan seksual di muka bumi ini.